بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْ
Kebanyakan orang-orang menduga, bahwa pulau Bali
dengan pulau Jawa asal mulanya menjadi satu daratan. Akan tetapi kapan putusnya
kedua pulau itu , sehingga sekarang terdapat Selat Bali, para achli tiada
dapat menentukannya.
Kisah
perjalanannya rombongan Markandeya ketika melakukan perpindahan dari Jawa ke Bali , sama sekali tiada menyebutkan tentang perjalanan
mereka itu mempergunakan alat-alat pengangkutan dilaut untuk menyeberang. Hal
itu mempertebal kepercayaan orang-orang, bahwa kedua pulau itu bekas menjadi
satu daratan, sehingga memungkinkan orang-orang Bali Aga itu berjalan kaki
menuju ketempat tanah-tanah yang dibukanya itu.
Menurut uraian seuah kitab bernama “Usana Bali” , bahwa putusnya pulau Jawa
dengan pulau Bali, adalah disebabkan kesaktian seorang Pendita bernama Mpu
Sidhimantra. Pendita itu bertempat tinggal; di Jawa Timur, kersahabat
karib dengan seekor ular besar yang bernama “NAGA BASUKIH “
Naga itu berliang didesa Besakih yang terletak dikaki Gunung Agung,
merupakan sebuah goa besar yang dianggap suci. Karena persahabatan
itu Mpu Sidhimantra tiap-tiap bulan purnama raya, selalu datang ke
Besakihmendapatkan Naga Basukih dengan membawa madu, susu dan mentega, untuk
sahabatnya itu.
Mpu
Sidhimantra mempunyai seorang anak laki-laki bernama Ida Manik Angkeran.
Anaknya itu gemar berhudi, tiada menghiraukan nasehat ayahnya Oleh karena dalam
perjudian itu sering kalah, sehingga menimbulkan ingatannya yang jahat. Pada
suatu ketika menjelang bulan purnama raya, Mpu Sidhimantra kebetulan sakit,
tiada sanggup mendapatkan sahabatnya pergi ke Bali .
Kesempatan itu dipergunakan oleh Ida Manik Angkeran untuk memuaskan nafsunya
mencari modal untuk berjudi. Sebuah “ bajra” kepunyaan
ayahnya lalu diambilnya dengan diam-diam, tanpa ijin orang tuanya ia lalu pergi
ke Bali mendapatkan Naga Basukih sahabat
ayahnya itu. Sampai disana ia lalu duduk bersila sambil membunyikan
“bajra” yang dibawanya itu sehingga Naga Basukih keluar dari liangnya.
Atas
pertanyaan ular besar itu, Ida Manik Angkeran lalu menerangkan, bahwa ayahnya
masih sakit, oleh karena itu ia menjadi wakilnya membawa pasuguh berupa madu,
susu dan mentega, yang biasa dihidangkan oleh ayahnya tiap-tiap bulan.
Pemberian Ida Manik Angkeran itu diterima oleh Naga Basukih dengan senang hati,
kemudian ditanyakan kepadanya, apa yang dikehendakinya untuk bekalnya pulang
kembali ke Jawa. Ida Manik Angkeran menjawab, bahwa ia tiada minta apa-apa,
seraya dipersilakannya Naga Basukih supaya masuk kegoanya, sebelum ia mohon
diri.
Naga
Basukih lalu masuk kegoanya, sedang ekornya yang begitu panjang sebagian
masih berada diluar. Ida Manik Angkeran kagum melihat sebuah batu permata besar
yang melekat pada ujung ekor Naga Basukih itu, sehingga menimbulkan
hasratnya hendak mengambil batu permata yang tiada ternilai
harganya itu. Terpikir olehnya, bahwa batu permata itu cukup nanti
dipakainya berjudi seumur hidup. Sejenak berpikir demikian, ekor Naga Basukih
itu lalu dipenggalnya batu permata itu lalu dibawanya lari.
Akan
tetapi baru ia sampai dihutan “Camara Geseng” tiba-tiba ia mati
hangus terbakar, karena bekas jejak kakinya dapat dijilat oleh Naga
Basukih yang sedang marah itu. Sekarang tersebutlah Mpu Sidhimantra , cemas
mengenangkan nasib anaknya sudah lama tiada pulang-pulang,
sedang “bajra” pusakanya telah hilang.Ia lalu pergi mendapatkan
sahabatnya itu, seraya menanyakan keadaan anaknya yang sudah lama tidak pernah
pulang.
Naga Basukih
lalu menerangkan kepada sahabatnya itu, bahwa Ida Manik Angkeran sudah mati,
lantaran keberaniannya memenggal ekornya yang berisi batu permata. Mpu
Sidhimantra menyesali perbuatan anaknya itu, seraya bermohon kepada sahabatnya
itu supaya dosa anaknya itu suka diampuninya. Ia berjanji kepada sahabatnya
itu, apabila anaknya itu dapat dihidupkan kembali, biarlah Ida Manik Angkeran
selama hidupnya tinggal di Bali untuk menjadi abdipura Besakih sebagai
“Pemangku” (penyelenggara upacara di pura). Permintaan Mpu Sidhimantra
diluluskan, maka Ida Manik Angkeran lalu hidup kembali berkat kesaktian Naga
Basukih itu.
Maka
semenjak itulah Ida Manik Angkeran disuruh oleh ayahnya supaya bertempat
tinggal di Bali , tiada dibolehkan lagi pulang
ke Jawa. Mpu Sidhimantra pulang kembali ke Jawa, setelah anaknya hidup lagi
sebagai sediakala. Maka untuk mencegah kemungkinan anaknya itu akan
menyusul perjalanannya , lalu digoreskanlah tongkatnya, sehingga daratan pulau Bali dengan pulau Jawa menjadi putus karenanya.
Demikianlah ceriteranya, asal mulanya ada Selat Bali
yang disebut “SEGARA RUPEK”
Ceritera kitab itu merupakan dongeng dan tachyul, tetapi kenyataannya sukar
dibantah. Keturunan Ida Manik Angkeran itu disebut “Ngurah Sidemen”
ternyata sampai kini berkewajiban menjadi “Pemangku” di Pura
Besakih.
Penulis bangsa Eropah bernama Raffles , Hageman dan R. Van Eck, sama-sama
membenarkan, bahwa Bali dan Jawa bekasnya menjadi satu daratan, oleh bencana
alam yang disebabkan meletusnya sebuah gunung berapi, maka terjadilah gempa
bumi besar, sehingga daratan kedua pulau itu menjadi putus.
Mereka menerangkan, bahwa peristiwa itu terjadi di alam abad ke XIII *). Akan
tetapi sayang keterangan mereka itu kurang jelas, gunung mana yang dikirakan
meletus oleh mereka itu. Hasil penyelidikan menyatakan, bahwa sepanjang pantai
Selat Bali itu, sekarang banyak terdapat mata air panas berbau belerang.
Kemungkinan disana dahulu terdapat sebuah gunung berapi yang sudah
meletus.Diantara mata air panas itu sebuah disebut : Banyu Wedang, artinya air
panas.
Sementara itu terdapat sebuah kitab bernama : Nagara-Kertagama karangan
Prapanca, menerangkan bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Madura terjadi
dalam tahun Úaka 124. Bilangan tahun Úaka itu mempergunakan perhitungan
“candra-sangkala” yaitu dengn perkataan yang berbunyi “ samudra nanggung
bumi “ Keterangan kitab itu sesuai dengan pernyataan sebuah
kitab bernama : “Wawatekan” yang menerangkan bahwa “segara rupek”
itu , ialah “segara nanggung bumi”. Baik “samudra” maupun
“sagara” sama artinya dengan lautan atau selat. Kedua perkataan itu sama
dengan angka 4, menurut perhitungan tahun Candra-sangkala. Perkataan
“nanggung” sama dengan angka 2. Sedang perkataan “bumi” sama dengan
angka 1. Oleh karena caranya menghitung angka-angka itu harus berbalik,
maka terjadilah bilangan tahun Úaka 124, atau tahun Masehi 202.
Meskipun kitab-kitab itu sudah menerangkan demikian, namun pernyataan itu tiada
dapat dipakai pegangan yang kuat, untuk mnentukan putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa memang terjadi semasa itu.
Mustahil Prapanca tiada menyebutkan dalam kitab karangannya itu,
bahwa putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa
bersamaan waktunya, apabila memang benar demikian halnya.-
Dalam
pada itu seorang penulis bernama C.W. Laedbeater menerangkan
didalam sebuah kitab karangannya bernama: “The Occult History of
Java” bahwa putusnya Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra terjadi dalam tahun
Masehi 915 (meletusnya Gunung Krakatau), yang menyebabkan putus kedua
pulau tersebut. Dapatlah keterangan penulis itu dipakai sandaran untuk
menyatakan, bahwa putusnya Pulau Bali dengan
Pulau Jawa terjadi pada waktu itu? Memang jikalau ditilik dari
letak ketiga pulau itu (Sumatera, Jawa dan Bali) seakan-akan berangkai
hanya dipisahkan oleh selat-selat yang sempit, tidaklah mustahil kejadian di
Selat Sunda dapat dipengaruhi keadaan di Selat Bali .
Sementara kitab-kitab itu tiada memberi ketegasan waktu mana kiranya putusnya
Pulau Jawa dengan Pulau Bali terjadi, maka pendapat umum lebih condong
mempercayai theori ilmu bumi. Pada zaman dahulu sebagian besar kepulauan
Indonesia belum ada, masih bersatu dengan benua Asia, maka pada suatu ketika
yaitu pada achir zaman es, konon katanya gunung-gunung es yang
terdapat dikutub Utara dan dikutub Selatan menjadi cair, sehingga
permukaan laut naik dan merendam daerah-daerah yang rendah.
Oleh
karena itu terjadilah lautan Tiongkok Selatan, laut Jawa, dan Selat
Malaka. Kemungkinan ketika itulah terjadinya Selat Bali itu, lantaran dataran
disana rendah, turut terendam air laut yang sedang pasang itu. Jika
memang demikian halnya, sudah tentu putusnya Pulau Bali
dengan Pulau Jawa itu terjadi beberapa ratus abad sebelum tarich Masehi.
Demikianlah keterangan-keterangan yang diperoleh mengenai hal ichwal putusnya
Pulau Bali dengan Pulau Jawa itu, namun para achli belum ada yang berani
menerangkan, kapan sebenarnya peristiwa itu terjadi. Baiklah hal itu dipakai
sebagai gambaran saja, untuk meraba-raba , bahwa kedua pulau itu pada suatu
masa kiranya memang benar mula-mula menjadi satu daratan - -
*) Raffles menerangkan , bahwa putusnya pulau Bali dengan pulau Jawa terjadi didalam tahun 1204.
Hageman menerangkan terjadi dalam tahun 1293. Sedang R. van Eck menerangkan
terjadi dalam tahun 1298 . Keterangan mereka itu menurut perhitungan
tahun Masehi.-
Terimah kasih Atas kunjungannya Mudah mudahan Blog ini Bermanfaat buat anda,,,,,,
0 komentar:
Posting Komentar