بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْ
Cerpen Karya Bunga Alfiena Darissalamah
Senyumnya membuat hati ini seolah-olah luluh lantah. Aku mencintainya, bahkan sangat mencintainya. Tapi aku tak tahu? Apakah dia merasakan hal yang sama. Aku tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaan ini. Aku takut ia menolak. Biarkan aku memendam rasa ini sendiri.
Istirahat sekolah. Aku melihatnya bercanda gurau dengan temen-temannya. Sesekali aku memandanginya, namun ia balik memandangiku. Al hasil, aku malu, dan segera meninggalkan tempat tersebut.
Istirahat sekolah. Aku melihatnya bercanda gurau dengan temen-temannya. Sesekali aku memandanginya, namun ia balik memandangiku. Al hasil, aku malu, dan segera meninggalkan tempat tersebut.
Dia adalah teman sekelasku. Namanya Anda, anak seorang TNI. Dia selalu menadi juara kelas karena ketekunannya belajar. Dia juga dikenal sebagai orang yang ramah dan baik. Apalagi kalau punya pacar. Dia perhatian banget sama pacarnya itu. Ingin sekali perhatian itu dituju untukku.
Pahit Manisnya Cinta - Cerpen Cinta |
Hari kamis, tepatnya pelajaran fisika. Ada soal yang sedikit bingung bagiku. Akupun menanyakan soal tersebut kepada Anda. “Anda, bisa minta tolong?” tanyaku. “Oh, bisa. Apa yang bisa ku tolong?” jawabnya. “Begini, bisakah kau memberitahuku rumus soal nomor 4 ini. Aku sedikit tak mengerti, karena saat Ibu Susi menjelaskan, aku tidak berada di kelas.” Kataku. “Oh, yang ini. Ini rumusnya W=VxIxt, V= 220V, I=5A, dan t=3600sekon. Semuanya dikali dan dapatlah hasilnya. Bisa kan?” jawabnya. “Yaya, aku mengerti. Terima kasih” ujarku. “Ya, sama-sama” jawabnya kembali. Saat pergi dari meja Anda, aku tersenyum-senyum sendiri.
Terdengar kabar, bahwa Anda suka sama seorang cewek kelas sebelah. Namanya Febi, seorang cewek yang pintar, cantik, putih, tinggi, baik, dan sifat baik lainnya.
Kabar itu diperoleh dari twitter Anda yang suka bertanya mengenai kabar Febi. Aku cemburu, kecewa, kesal dengan kabar ini. Meski aku belum memastikannya.
Saat aku membuka twitter, hal itu benar-benar terjadi. Bahkan, beberapa menit yang lalu, Anda mengungkapkan perasaannya kepada Febi. Namun, itu belum direspon oleh Febi. Sehingga aku belum mengetahui jawabannya.
Esoknya, aku melihat Anda bersama Febi. Dengan segera aku masuk ke kelas dan bertanya pada Isa. “Sa, Anda jadian sama Febi?” tanyaku. “Iya, emang kamu gak liat di twitter? Anda nembak Febi dan Febi terima!” jawab Isa. “Iya aku tahu. Tapi saat itu Febi menjawabnya lama. Jadi langsung aku tutup” jawabku kembali. “Nggak lama kok, paling Cuma 10 menit.” Ujar Isa. Aku kecewa.
Sejak itu aku berubah. Suka ngelamun, marah-marah gak jelas, cuek, acuh, sampai-sampai nggak perduli orang disekelilingku. Aku duduk di bangku dekat pohon di taman sendirian. Tiba-tiba ada yang menghampiriku. Dan ternyata itu Anda.
“Kenapa kamu? Beberapa hari ini, aku lihat kamu sering ngelamun? Biasanya kamu itu aktif banget. Nggak seperti saat ini?” tanya Anda sedikit perduli. Aku diam tanpa menjawab semua pertanyaan Anda. “Hey? Apakah kau punya masalah? Kau bisa berbagi ceritamu kepadaku” tawar Anda “Tidak! Terima kasih. Aku tak mau membagi masalahku pada orang lain. Cukup aku dan Allah yang tahu. Permisi aku harus pulang” jawabku sambil berjalan pulang. “Ayo, aku antar?” tawarnya kembali. “Tidak, terima kasih” dengan segera meninggalkan Anda.
Satu bulan berlalu. Dan selama 1 bulan itu, aku tak pernah membuka twitter atau media sosial lainnya. Aku takut hatiku tak bisa menerima kepahitan setelah aku membaca pesan Anda dan Febi.
“Nak, Ibu ada keperluan diluar. Kalian kerjakan Fisika hal 137. Assalammualaikum.” Ujar Bu Susi sembari meninggalkan kelas. Aku tak cukup pandai dalam pelajaran ini, sehingga aku selalu bertanya kepada orang yang lebih mengerti fisika. Aku merasa bingung dengan soal nomor 9. Aku bertanya kepada Isa, tapi ia juga tak mengerti. Begitu juga Sisil, Nasya dan Reni.
“Sini, biar aku bantu. Nomor 9 kan?” tawar Anda. Aku terdiam sejenak lalu menjawab “Nggak perlu! Aku takut nanti ada yang cemburu!” kataku. “Maksud kamu Febi? Ya enggaklah, jarak kelas kita sama dia kan jauh, pasti nggak kedengeran. Lagian aku udah putus sama dia” “Oh!”
“Tunggu! Kamu itu kenapa sih? Kok sifat kamu dingin banget sama aku. Aku coba baikin kamu, toh kamunya tetep begitu. Emang apa salah aku?” tanya Anda. “Udahlah! Aku mau pergi buat nanya soal ini ke orang lain” jawabku. “Tunggu dulu, emang apa salah aku sampe sifat kamu sedingin ini ke aku? Baiklah, kalau aku ada salah, tolong maafkan aku!” pinta Anda “Kamu nggak perlu tahu apa masalah aku. Dan kamu nggak perlu minta maaf karena kamu nggak tau masalahnya!” Aku segera pergi ke meja lain, tak memperdulikan hirauan Anda lagi.
Setelah sholat, makan siang, aku segera membuka laptopku dan membuka twitter. Aku kaget, kita melihat interactions. Banyak sekali mention yang masuk dan kagetnya lagi itu semua dari Anda. Yang isinya “Bella, salah apa sih aku sampe kamu segini dinginnya kamu ke aku? Kalau aku salah, aku minta maaf. Aku juga gak mau kalau kita terus-terus begini.” “Kan udah aku bilang, gak ada apa-apa. Kamu nggak perlu minta maaf, udah aku maafin. Kamu juga nggak tahu masalahnya dan nggak akan pernah tau masalahnya” jawabku. Karena kesal, aku langsung mematikan laptopku.
Esoknya, disekolah, semua temanku bertanya hal yang sama, yaitu “Bella, kamu itu ada masalah apa sama Anda? Sampe-sampe Anda ngemis-ngemis minta maaf sama kamu. Kalo emang ada masalah, maafin aja. Kasihan liat Anda sampe harus minta maaf kayak gitu” “Nggak ada apa-apa” hanya itu jawabku.
Aku menghampiri Anda dan berkata “Anda! Udah cukup minta maafnya. Twitter aku penuh mention-mention dan DM dari kamu. Kan aku udah bilang kalo kamu nggak salah. Kamu peka dikit dong. Aku juga udah maafin kamu.” “Iya, maaf kalo aku terlalu banyak minta maaf. Aku takut kamu bakal benci sama aku.” jawabnya “Nggak kok, kita kan teman.” Jawab balikku “Cuma teman?..” bersamaan dengan Anda bicara bel masuk berbunyi. “Apa katamu?” tanyaku “Nggak papa” jawabnya. Kami masuk kelas bersama.
Setelah belajar Matematika, kami ke lab untuk belajar biologi. Aku mau mengajak Anda untuk ke lab bersama. Namun, tanganku langsung ditarik Isa dan Reni untuk ke lab bersama. Dan meninggalkan Anda. Setelah 10 menit di lab, aku baru sadar bahwa tak ada Anda disini. Aku meminta izin kepada Pak Wono untuk ke kelas mengecek keberadaan Anda.
Saat itu Anda seperti sedang tidur dengan kepala menunduk. “Anda, ayo ke lab. Pelajarannya sudah di mulai. Bangun, nanti kamu dimarahin Pak Wono karena tidak mengikuti pelajarannya. Kamu mau dimarahin Pak Wono yang super ganas itu? Nanti kamu disuruh lari 10 kali keliling lapangan mau? Ayo bangun!” Anda tetap diam, tanpa sedikit pun tubuhnya bergerak. Saat ku angkat kepalanya dan ku pegang. Tubuhnya sangat panas dan wajahnya pucat. Aku panik, dan segera membawanya ke UKS sendirian karena murid yang lain berada di lab. Aku membawa Anda ke UKS dengan merangkulnya.
Beberapa menit kemudian Anda sadar, setelah ditangani dengan Fajar anggota PMR. Saat Anda sadar ia memanggil namaku. “Bella! Bella! Bella!” “Iya, aku disini.” Jawabku dengan sedikit meneteskan air mata. “Kamu kenapa nangis?” tanya Anda. “Hah? Nggak nangis kok.” Jawab ku dengan segera mengusap air mataku. “Itu, kamu nangis. Udah jangan nangis, aku nggak mau air mata kamu terbuang percuma!” kata Anda. “Iya, aku memang nangis. Aku nangis karena kamu!” jawabku kepada Anda “Karena aku? Udah, kamu nggak perlu nangis. Ini cuma pusing sedikit aja kok!” jawab santai Anda.
“Tubuh kamu panas banget, tuh, muka kamu aja sampe pucat gitu.” Udah kamu istirahat disini ya. Aku mau ngelanjutin pelajaran.” “Tunggu, aku mau ikut” Beranjak dari tidurnya. “Nggak usah, istarahat disini aja. Nanti biar aku ajarin pelajaran yang kamu tinggal. Kalau kamu ikut, terus tiba-tiba kamu jatoh gimana? Yang susah siapa? Udah disini aja, sampe pulih.” Kataku pergi meninggalkannya dengan tersenyum, ia pun membalas senyum itu.
Bel pulang berbunyi, dengan segera aku ke UKS untuk menemui Anda. Setibanya disana, aku tak melihat Anda disana. “Fajar, dimana Anda?” tanyaku pada Fajar. “Tadi selang beberapa menit setelah kamu kembali ke lab. Anda sesak nafas sehingga aku dan Pak Burhan membawanya ke rumah sakit. Setelah keluarganya datang, aku dan Pak Burhan pulang. Kata dokter, Anda mengalami penyakit komplikasi yaitu asma, tifus, dan radang ginjal. Penyakit itu tibul karena istirahat yang tidak cukup dan makan tidak teratur.” Jawab Fajar. “Baiklah, terima kasih Fajar” jawab balikku menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, aku melihat keluarga Anda bersedih dengan cobaan ini. Aku pun mencoba menenangkan keluarganya, terutama ibunya yang paling kaget mendengar kabar ini. Hingga akhirnya ia sedikit lebih tenang.
Pukul 18.00 “Tante, sebaiknya Tante dan yang lain pulang. Tante disini sudah seharian. Biarkan aku yang menjaga Anda. Jika Anda sudah sadar, akan ku kabari. Aku juga sudah bilang pada Ibuku jika aku akan menjaga Anda seharian ini. Ibuku tak menolaknya, besok ia akan menjenguk kemari. Lagian besok juga libur. Lebih baik Tante dan yang lain pulang untuk istirahat” kataku pada Ibu Anda. “Baiklah, kau hati-hati disini. Tolong jaga Anda baik-baik. Terima kasih atas kebaikanmu. Tante permisi dulu” jawab Tante keluar dari kamar pasien.
Tepat pukul 21.00 di saat aku tengah tertidur karena kecapekan. Anda sadar dan memanggil namaku kembali. “Bella, Bella, Bella” teriak Anda. Aku bangun dan menghampirinya. “Ada yang ingin ku katakan padamu!” ujar Anda. “Apa yang ingin kau katakan?” jawabku. “Sejujurnya, aku putus sama Febi itu karena kamu.” Kata Anda. “Karena aku? Apa hubungannya denganku?” jawabku kembali. “Ya. Aku putus dengan Febi karena kamu. Aku merasa ikut sedih ketika kamu setiap hari murung dan sukanya ngelamun. Aku tau kau sedih karena aku. Ya, karena aku jadian sama Febi. Ya kan?” tanyanya. “Dari mana kau tau itu?” tanya balikku.
“Aku mengetahui semua hal itu dari Isa. Isa memberitahuku bahwa kau suka merenung karena orang yang kau suka pacaran dengan orang lain. Sebab itu, aku selalu berusaha untuk menghiburmu agar kau bisa tersenyum. Tapi, semua usahaku terbuang sia-sia. Kau tetap saja seperti itu, bahkan kau melebihi itu. Hari ke 27 aku berpacaran dengan Febi. Aku merasa bahwa aku cinta sama kamu. Sebab itu perhatian aku kurang ke Febi. Dan tepat satu bulan, Febi mungkin kesal dengan sifatku. Sehingga ia mengajakku untuk putus. Saat dia memutuskan hubungan ini, hati ini gak ada rasa kecewa. Dari situlah aku yakin kali aku tak mencintai Febi. Tapi aku mencintaimu.” Jawabnya.
“Mungkin, aku pun harus jujur. Aku suka sama kamu sejak awal kita kenal. Sejak kamu selalu membantuku menyelesaikan soal fisika. Tapi, aku merasa kecewa mendengar kabar bahwa kau jadian bersama Febi. Hal itulah yang membuatku suka murung, ngelamun, dan marah-marah gak jelas sama orang yang nggak salah.” Ujarku
“Baiklah, aku ingin menghapus semua kekecewaanmu, semua kebencianmu, semua kekesalanmu kepadaku.” Anda menarik nafas dan berkata “Bella, aku sangat mencintaimu. Aku sangat menyukaimu. Aku sangat menyayangimu. Sebab itu, maukah kau jadi pacarku?”
Aku terdiam sejenak. “Aku terima, asalkan kau harus makan yang teratur, istirahat yang cukup, agar kau bisa cepat sembuh.” Kataku “Siap, bos” jawab Anda. Kami pun tertawa. Aku pun mengabari Ibu Anda. Setibanya Ibu Anda ke rumah sakit, aku di atar pulang saudara perempuan Anda.
Esoknya, aku segera ke rumah sakit untuk menjenguk Anda kembali. Namun sayangnya, saat aku temui Anda, ia telah terbujur kaku tanpa daya. Aku menangis dan bertanya pada saudara perempuannya “Kak, apa yang terjadi?” tanyaku dengan terus menerus meneteskan air mata. “Anda telah berpulang kepada-Nya. Setelah selesai mengerjakan semua soal fisika. Ia kembali mengalami sesak nafas. Anda tak berhasil diselamatkan. Ia menitipkan ini untukmu” jawabnya sambil memberi sebuah surat dan buku.
“Untuk Bella. Mungkin, ketika kau membaca surat ini. Aku telah terbaring lemah tak bernafas, jantung tak berdetak, nadi tak berdenyut. Maafkan aku jika harus meninggalkanmu secepat ini. Aku sudah tak tahan dengan penyakit yang menggrogoti tubuhku ini. Dan maaf, aku tak bisa membantumu dalam mengerjakan soal fisika lagi. Untuk itu, telah ku siapkan buku yang berisi semua jawaban dari soal di buku. Jika kau kesusahan, pakailah buku itu. Tak lupa, aku menulis rumus-rumusnya sehingga kau selalu bisa menggunakannya setiap waktu. Kau harus menjaga buku ini. Dan kau harus belajar dari buku ini. Dan, satu lagi, kau harus mengalahkanku dengan menjadi juara kelas. Terima kasih atas semua pengorbananmu untuk mendapatkan cintaku. Assalammualaikum..”
Aku menangis tersedu-sedu membaca surat itu. Baiklah Anda, aku akan berjanji! Aku akan menjaga dengan baik buku ini! Aku akan merawat buku ini agar tidak kusam termakan usia! Aku akan belajar dari buku ini sehingga dapat mengalahkanmu sebagai juara kelas! Terima kasih atas cintaku yang telah kau balas. Meski hanya dalam hitungan jam. Ku harap kau disana baik-baik saja. Kelak kita akan bertemu dan kembali bersama..
Sumber: http://www.lokerseni.web.id/2013/12/
0 komentar:
Posting Komentar