بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْ
Gadis ini mencengkram erat
kepalanya. Di tengah hujan, dia masih harus mengalami perdebatan sengit antara
hati dan otaknya. Dinda, begitu gadis ini disapa. Menangis di tengah hujan yang
sangat deras memang efektif karena tetesan air matapun takkan terlihat.
Dinda berjalan di koridor kelas dengan lesu.
Bagaimana tidak, fikirannya benar-benar sedang kacau. Apalagi kalau bukan karna
cinta. Tepatnya karna Denis, si pangeran berkuda putih itu. Sebenarnya Denis
hanyalah pria biasa, hanya saja cinta membuat Denis terlihat tak biasa di mata
Dinda. Mungkin Dinda melihat menggunakan mata hati. Mungkin.
Tak ada yang buruk dari mengenal Denis. Hanya saja
Denis terlalu untuk Dinda. Terlalu baik, terlalu tampan, terlalu pintar..
Nyaris sempurna. Dulu, Dinda tidak suka pada Denis, bahkan Dinda membencinya.
Tapi sekarang? Ia menyukainya. Atau mencintainya. Mungkin.
“Din, kamu baik-baik saja?” Suara itu. Suara itu
sudah tak asing lagi di telinga Dinda. Dan benar saja, ketika Dinda melihat
siapa orang itu. Ternyata Denis.
“Aku? Aku baik-baik saja.” Jawab Dinda. Sungguh
dibalik kata baik-baik saja ada kata tidak dalam keadaan baik yang tersembunyi.
Perempuan. Bukankah itu salah satu keahliannya untuk menutupi perasaan mereka
yang sebenarnya?
Hujan Terakhir Bersamamu
|
Seperti biasa, Dinda duduk di samping Gisha. Gisha
dulunya adalah gadis yang Denis sukai. Gisha itu perempuan yang cantik, pintar,
dan pandai bergaul, hampir tak ada celah pada dirinya. Tapi itu dulu, sampai
Denis berkata kalau ia menyukai Dinda. Dinda mendengus geli ketika otaknya
memutar memori antara Dia, Gisha dan Denis.
Waktu itu, hujan sangat lebat. Dinda dan Gisha
menunggu hujan itu berhenti. Gisha sibuk mengamati hujan yang deras itu, tetapi
Dinda justru menikmatinya. Aroma hujan, Dinda selalu menyukai itu. Rintikan
hujan mengalun seperti sebuah musik di telinganya. Dinda menikmati itu sampai
dia tahu bahwa Denis memberikan jaketnya untuk Gisha. Dinda benarbenar cemburu
hingga dia lepas kendali.
“Din maaf.. Aku nggak mau semua berakhir sampai di
sini?”
Dinda sempat bingung dengan isi pesan singkat Denis.
Kata-katanya sedikit sulit untuk dicerna oleh otaknya. Bahkan butuh waktu yang
lama untuk memikirkan kata-kata Denis. Tetapi akhirnya Dinda menjawab
“Apa yang berakhir? Nggak ada yang berakhir.
Semuanya akan sama seperti dulu. Maaf, tadi aku memang lagi emosi. Jangan
berlebihan menanggapinya. Nothing gonna change Denis, trust me.”
Tiba-tiba Dinda tersadar dari lamunannya karena guru
sudah memasuki kelas. Lagi-lagi matanya kembali menangkap sosok Denis. Denis
sibuk dengan perempuan itu. Target baru mungkin. Dinda pura-pura tidak
memperdulikannya. Dinda harus fokus. Ini demi mimpinya juga kebahagiaannya.
Jam tambahanpun berakhir. Semua anak-anak sibuk mengobrol
sana-sini, membicarakan rencana mereka sepulang jam tambahan. Dinda sedang
fokus membereskan buku-bukunya. Memastikan bahwa tak ada satupun barangnya yang
tertinggal. Tapi tiba-tiba sosok itu mengusiknya, lagi.
“Tidak. Hanya ingin melihat kamu. Dinda yang fokus
benar-benar lain ya.”
Dinda mengangkat sudut bibirnya ketika mendengar
kata-kata Denis.
“Eh? Dinda tersenyum?”
Setelah mendengarnya, Dinda segera merubah raut
wajahnya. Dinda menyesali senyumannya tadi. Harusnya ia tidak memberikan senyuman
berharganya itu kepada Denis. Si pemberi harapan palsu.
“Dinda, ada yang mau aku bicarakan. Kita keluar
sebentar ya”
Dinda segera keluar bersama Denis sebelum
teman-temannya melihat. Ketika Denis mengajak Dinda untuk mengobrol di tempat
teduh, Dinda menolaknya. Dinda beralasan kalau saat ini hanya hujan. Hujan air,
dan lagipula Dinda suka hujan.
“Mau bicara apa?” tanya Dinda.
“Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu menjauhiku. Kamu
nggak pernah mengirimiku pesan singkat. Bahkan seperti kamu membenciku. Aku
salah apa sama kamu?” jawab Denis yang kembali bertanya.
“Semuanya sudah berakhir”
“Berakhir? Maksudmu? Apa yang berakhir?”
“Kita.”
Beberapa menit kemudian Dinda meralat kata-katanya
“Maksudku bukan kita. Tapi aku dan kamu. Bukankah
aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita?”
“Kamu ini bicara apa Dinda. Siapa yang bilang kalau
kamu dan aku tidak akan pernah menjadi kita?”
“Takdir. Takdir memang tak pernah berkata tentang
hal itu. Tapi, takdir menunjukkannya.”
“Takdir tak pernah menunjukkan itu Din” jawab Denis
tegas.
“Tak pernah? Bagaimana dengan kebudayaan kita?
Bukankah itu cukup menunjukkan kalau kita tidak bisa bersama? Kamu keras
sedangkan aku lembut. Kamu api sedangkan aku air. Kita berbeda, bahkan jika
kita bersama maka kita akan menghancurkan satu sama lain.”
Hujan semakin deras. Sebanyak air hujan itulah air
mata Dinda yang ditahannya. Mungkin untuk terakhir kalinya, Dinda ingin Denis
mengingat senyumnya, bukan tangisnya.
“Kenapa kamu menginginkan ini berakhir? Bukankah
terlalu awal untuk mengakhirinya?”
“Kenapa kamu bertanya kepadaku? Kamu yang
mengakhirinya. Bukan aku.”
“Aku? Aku tak pernah mengatakan ingin mengakhiri
semuanya.”
“Sekali lagi, mungkin lidahmu terlalu kelu untuk
mengatakan bahwa semua ini telah berakhir. Tetapi kamu berhasil menunjukkan.
Kamu menunjukkan tanda-tanda bahwa kamu ingin mengakhirinya.”
“Din.. Dulu aku kan pernah bilang kalau aku nggak
mau —” ucapan Denis terpotong karna Dinda segera menjawab
“Itu dulu Sekarang, tanda-tandanya sudah jelas bahwa
kamu ingin mengakhirinya.”
Hening. Denis tidak bisa menjawab apa-apa lagi. Tak
pernah terfikirkan oleh Denis kalau Dinda akan mengatakan hal-hal seperti ini.
Denis tak tahu apa yang membuat Dinda berubah seperti ini.
“Lagipula, kamu sekarang sudah punya pacar, kan?”
kata Dinda yang sepertinya ingin menyindir Denis.
“Pasti kamu bingung aku tahu dari mana kalau kamu
sudah punya pacar.” sambung Dinda sambil memaksakan senyum pada wajahnya.
“Pastinya. Kamu ini jangan-jangan penguntit aku ya.”
Denis benar-benar tertawa lepas dengan jawabannya tadi. Bahkan Dinda ikut
terkekeh dengan jawaban Denis.
Tiba-tiba Dinda berhenti tertawa. Dia memperhatikan
Denis yang masih tertawa lepas. Mungkin ini terakhir kalinya Dinda melihat
Denis tertawa karnanya dan bersamanya. Dinda menatap wajah Denis lekat-lekat.
Ia mencoba mengingat setiap lekuk wajah Denis. Jika Tuhan tak mengizinkannya
untuk memiliki Denis, maka biarkanlah Dinda memiliki kenangan tentang Denis.
Tetapi Dinda tak ingin mengingat kenangan ini setiap saat. Biarkanlah hujan
menyimpan kenangan antara Dinda dan Denis.
Tanpa sadar Dinda menitihkan setetes air matanya.
Dia berbalik membelakangi Denis. Pundaknya bergetar hebat. Tangisannya
benar-benar tak bisa ditahan lagi. Suara tangisnya pecah diantara lebatnya
hujan. Denis segera menghentikan tawanya. Dia menatap punggung itu. Punggung
gadis yang dulu sempat menjadi tempat pertama saat sedih maupun senang. Denis
tahu betapa rapuhnya gadis ini.
Dinda segera menghapus air matanya. Mengatur
suaranya agar tak bergetar saat berbicara dengan Denis nantinya. Dinda
membalikkan tubuhnya dan tersenyum kaku saat melihat Denis. Denis membalas
senyuman Dinda dengan tulus. Dinda tak tahu harus bagaimana atas sesuatu yang
telah berakhir. Yang terbesit di benaknya adalah betapa bodohnya dia. Dinda
juga tahu bahwa hujan akan membawanya pada kenangan antara dia dan Denis,
tetapi pada saat hujan berhenti kenangan itu sedikit demi sedikit akan
menghilang.
Dinda beranjak dari duduknya. Begitu juga dengan
Denis.
“Sepertinya aku harus pulang. Hujannya semakin
deras. Dan kamu juga harus pulang.” kata Dinda.
“Aku harap setelah hujan ini akan ada pelangi.
Pelangi yang menghubungkan aku dengan pasanganku, dan kamu dengan pasanganmu.”
sambungnya.
Dinda pergi meninggalkan Denis lebih dahulu. Dinda
kini sadar bahwa tak selamanya pangeran baik untuknya. Dan hujan? Terimakasih
untuk hujan karena bersedia menjadi pengingat kenangan yang Dinda miliki.
0 komentar:
Posting Komentar